Dampak Penggunaan Plastic Cup oleh Starling terhadap Lingkungan: Tinjauan terhadap Gaya Hidup dan Kontribusinya terhadap Perubahan Iklim

Di tengah hiruk-pikuk kota, mungkin kamu sudah tak asing lagi melihat para penjual kopi keliling yang akrab disebut Starling atau Starbucks Keliling. Mereka menyajikan kopi instan dengan cepat dan harga terjangkau—cocok untuk masyarakat urban yang selalu terburu-buru. Tapi di balik kenyamanan itu, tersimpan satu persoalan besar: penggunaan plastic cup sekali pakai.

Penjual kopi keliling atau starling. ©2013 Merdeka.com, sumber gambar : Merdeka.com

Setiap harinya, seorang penjual Starling bisa menggunakan puluhan hingga ratusan gelas plastik untuk menyajikan minuman. Setelah digunakan, gelas-gelas ini biasanya langsung dibuang. Tampaknya sepele, namun jika dikalikan dengan jumlah penjual dan pelanggan yang ada, kita akan melihat betapa besar dampak lingkungan yang dihasilkan.

Gaya Hidup Instan, Sampah Menumpuk

Fenomena Starling atau “Starbucks Keliling” mencerminkan bagaimana gaya hidup instan semakin meresap dalam keseharian masyarakat modern. Kita terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan praktis. Ketika ingin kopi, tak perlu repot-repot menyeduh atau mengantri di kedai—cukup panggil abang Starling, dan dalam sekejap, segelas kopi hangat tersaji. Mudah, murah, dan efisien.

Namun, di balik kenyamanan tersebut, kita sering kali lupa memikirkan dampak jangka panjang dari kebiasaan ini. Gelas plastik yang digunakan hanya dalam hitungan menit untuk menampung kopi panas itu, pada kenyataannya, dapat meninggalkan jejak ekologis yang sangat panjang. Plastic cup yang dipakai umumnya terbuat dari bahan seperti polipropilena (PP) atau polistirena (PS)—material yang dikenal tahan panas dan murah, namun sangat sulit terurai di alam.

Diperkirakan, satu gelas plastik bisa membutuhkan waktu 200 hingga 500 tahun untuk terurai secara alami di lingkungan.

Lebih buruk lagi, mayoritas gelas plastik ini tidak melalui proses daur ulang. Banyak yang langsung dibuang ke tempat sampah umum, tercecer di jalan, terbawa angin ke sungai, atau dibakar secara terbuka. Padahal, saat plastik dibakar, zat berbahaya seperti dioksin dan furan bisa terlepas ke udara dan membahayakan kesehatan makhluk hidup di sekitarnya, termasuk manusia. Di sisi lain, ketika gelas-gelas ini terbawa ke perairan, mereka perlahan akan terpecah menjadi mikroplastik—partikel kecil yang sangat sulit dideteksi, namun dapat masuk ke dalam tubuh ikan dan hewan laut, lalu berpotensi kembali ke piring makan kita.

Pelanggan starling. ©2025 greennarration.blogspot.com

Pelanggan Starling sendiri mengakui bahwa mereka belum terlalu memikirkan dampak lingkungan dari penggunaan plastik sekali pakai. “Jujur aja, saya beli kopi di Starling karena murah dan cepet. Soal gelasnya, nggak kepikiran sih. Biasanya langsung buang aja,” ujar salah satu mahasiswa yang kerap membeli kopi di sekitar kampus. Kebiasaan ini, meski tampak sepele, menjadi gambaran nyata bagaimana pola konsumsi cepat seringkali mengabaikan keberlanjutan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah skala dari masalah ini. Satu penjual Starling bisa melayani puluhan hingga ratusan pembeli setiap hari. Jika setiap pembeli menggunakan satu gelas plastik saja, maka bayangkan jumlah sampah yang dihasilkan oleh ribuan penjual Starling yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia. Dalam satu minggu, jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan gelas plastik. Semuanya berakhir di tempat sampah, tanah, sungai, laut—dan jarang sekali yang benar-benar didaur ulang.

Ahli lingkungan dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa salah satu tantangan utama dari limbah plastik Starling adalah sistem pengelolaan sampah yang belum responsif terhadap skala konsumsi mikro seperti ini. “Kita terlalu fokus pada industri besar, padahal aktivitas sehari-hari seperti pembelian kopi dari pedagang keliling ini menyumbang limbah dalam jumlah yang sangat signifikan jika dikalikan jutaan konsumen setiap harinya,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa tanpa intervensi kebijakan atau edukasi dari pemerintah dan komunitas, masalah ini akan terus memburuk.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa gaya hidup instan membawa konsekuensi nyata bagi lingkungan. Kita terlalu terbiasa memilih yang praktis tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi setelahnya. Ada kesenjangan besar antara kenyamanan yang kita nikmati dan dampak ekologis yang harus ditanggung oleh bumi. Jika terus dibiarkan, kebiasaan kecil ini akan menjadi penyumbang besar dalam krisis lingkungan, terutama dalam hal perubahan iklim dan kerusakan ekosistem.

Sudah saatnya kita mulai menyadari bahwa keputusan sehari-hari, sekecil memilih wadah kopi, bisa memberi dampak besar. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan instan, tapi kesadaran kecil bisa memicu perubahan yang lebih besar—bukan hanya untuk lingkungan, tapi juga untuk masa depan generasi mendatang.

Plastik dan Perubahan Iklim: Hubungan yang Sering Terlupakan

Banyak orang belum menyadari bahwa plastik tidak hanya menimbulkan masalah sampah, tetapi juga berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Plastik berasal dari bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan gas alam. Setiap tahap dalam proses produksinya, dari ekstraksi bahan mentah, pengilangan, pembuatan resin plastik, hingga distribusi produk, menghasilkan emisi karbon yang signifikan. Bahkan, ketika plastik dibuang dan dibakar, senyawa berbahaya seperti dioksin dilepaskan ke atmosfer, memperparah kondisi pemanasan global.

Di tingkat konsumen sehari-hari, kontribusi ini terlihat sepele namun konsisten. Misalnya, ketika seseorang membeli kopi dari pedagang keliling seperti Starling (Starbucks Keliling) dalam gelas plastik sekali pakai, keputusan itu tampak praktis. Namun sesungguhnya, tindakan itu menyumbang pada jejak karbon global, seteguk demi seteguk.

Dari wawancara dengan salah satu pelaku usaha Starling, diketahui bahwa penggunaan gelas plastik dipilih karena alasan kepraktisan dan efisiensi. "Karena lebih praktis dan simpel, tidak membuang-buang tempat," ujarnya. Dalam sehari, ia bisa menggunakan antara 50 hingga 100 gelas plastik. Ketika ditanya mengenai kemungkinan beralih ke kemasan ramah lingkungan, sang narasumber menyebut tantangan seperti repotnya proses mencuci, kurangnya kepraktisan, hingga risiko pecah jika menggunakan gelas kaca. "Kalau ganti ke gelas kaca takutnya jatuh, pecah, atau bagaimana... jadi pilih plastik karena lebih hemat dan praktis," jelasnya.

Namun demikian, ada secercah harapan. Pedagang ini mengakui bahwa beberapa pembeli sudah membawa tumbler sendiri, dan ia menyambut hal itu dengan positif. Bahkan ia terbuka terhadap perubahan jika ada dukungan yang memadai. "Kalau ada bantuan atau subsidi, bisa dicoba sih. Mungkin lebih baik, atau lebih praktis aja," tuturnya. Ia juga menyarankan solusi seperti diskon bagi pelanggan yang membawa tumbler atau menyediakan opsi kemasan ramah lingkungan dengan harga yang setara plastik.

Sayangnya, hubungan antara plastik dan perubahan iklim seringkali luput dari kesadaran publik maupun pelaku usaha kecil. Selama kemasan sekali pakai dianggap lebih murah dan mudah, pilihan itu akan terus mendominasi. Padahal, dampaknya meluas jauh dari sekadar tumpukan sampah. Ia menelusup ke udara yang kita hirup, mengendap dalam suhu global yang terus meningkat.

Dengan memahami bahwa keputusan sekecil memilih gelas minum pun memiliki dimensi ekologis, kita semua, konsumen, pelaku usaha, hingga pembuat kebijakan, dapat berkontribusi lebih sadar terhadap upaya mengurangi jejak karbon. Edukasi, insentif, dan alternatif kemasan yang praktis dan terjangkau adalah jalan keluar yang dapat dijajaki bersama, agar gaya hidup praktis tidak terus menjadi beban bagi bumi.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Beberapa solusi sederhana bisa dilakukan, seperti:
  • Membawa gelas sendiri saat membeli minuman dari Starling.
  • Mendukung penjual yang menggunakan kemasan ramah lingkungan.
  • Mengajak teman dan komunitas untuk lebih peduli terhadap sampah plastik.
Selain itu, edukasi juga penting—baik untuk penjual maupun pembeli. Jika masyarakat semakin sadar bahwa pilihan gaya hidup mereka punya dampak jangka panjang terhadap bumi, maka perubahan akan lebih mudah terjadi.

Menutup Cerita, Membuka Kesadaran

Starling hadir sebagai bagian dari solusi kebutuhan harian masyarakat. Tapi tanpa pengelolaan limbah yang baik, kehadirannya juga bisa menjadi bagian dari masalah lingkungan. Kita tidak sedang menyalahkan para penjual kopi keliling—mereka hanya beradaptasi dengan permintaan pasar. Tapi sebagai konsumen, kita punya kendali untuk mendorong perubahan, dimulai dari pilihan paling sederhana: menggunakan ulang, membawa wadah sendiri, atau sekadar berkata tidak pada plastik sekali pakai.

Perubahan iklim adalah isu besar, tapi kontribusi untuk menguranginya bisa dimulai dari secangkir kopi. Bisa dimulai dengan kelola sampahmu selamatkan bumi kita.



Comments